
suku Sunda ketika jaman Kerajaan Pajajaran berpusat di Bogor. Tidak heran bila di Bogor ada tugu yang sering disebut Tugu Kujang. Kini, kujang punya banyak kegunaan baik sebagai senjata, alat pertanian, perlambang, hiasan, ataupun cinderamata. Bentuk dan karakteristiknya memiliki ciri yang khas sesuai dengan pemakaiannya.
Menurut Budayawan Tatar Sunda, Anis Djatisunda dalam makalah "Kujang Menurut Berita Pantun Bogor" (1996), ketika jaman kerajaan Pajajaran masih berkuasa, konon kujang sering digunakan sebagai senjata untuk berperang. Selain itu juga untuk kepentingan sehari-hari dan sebagai salah satu barang pusaka kerajaan. Pada saat sekarang kujang sudah tidak digunakan lagi, seiring dengan perkembangan modernisasi. Tetapi kujang itu sendiri dijadikan suatu simbul atau nama seperti ; nama batalyon tangguh di lingkungan Kodam Siliwangi, nama sebuah pabrik pupuk di Cikampek Jawa Barat dan bahkan dijadikan lambang Propinsi Jawa Barat, serta organisasi-organisasi lain.
Selain itu, di Kawasan Jawa Barat dan Banten masih ada komunitas yang masih akrab dengan kujang, khususnya dalam kegiatan pranata hidupnya. Seperti masyarakat Sunda “Pancer Pangawinan” yang tersebar di wilayah Kec. Bayah Kab. Lebak, masyarakat Sunda Wiwitan urang Kanekes Propinsi Banten, Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor dan di Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat. Di lingkungan mereka, kujang selalu digunakan untuk upacara “nyacar”, yakni menebang pohon untuk lahan ladang. Dalam upacara tersebut ada ungkapan “Unggah Kidang Turun Kujang”, yang artinya “jika Bintang Kidang telah muncul di ufuk Timur di kala subuh pertanda musim “nyacar” sudah tiba, maka kujang (kujang pamangkas) masanya digunakan sebagai pembuka “ngahuma” (berladang).
Jenis Kujang
Sekalipun kujang identik dengan keberadaan kerajaan Pajajaran pada masa silam, namun berita Pantun Bogor (PB) tidak menjelaskan bahwa alat itu dipakai oleh seluruh masyarakat Sunda secara umum. Perkakas ini hanya digunakan oleh kelompok tertentu yaitu para raja, prabu anom, golongan pangiwa, panengen, golongan agamawan, para putrid serta golongan kaum wanita tertentu, dan para kokolot. Sedangkan rakyat biasa menggunakan perkakas-perkakas lain seperti golok, congkrang, sinduk dan sebagainya. Kalau ada yang menggunakan kujang, sebatas jenis pamangkas untuk keperluan berladang.
Adapun wujud sebilah Kujang memiliki bagian-bagian seperti ; Papatuk atau congo (bagian ujung yang runcing, digunakan untuk menoreh atau mencungkil), Eluk atau Siih (lekukan-lekukan pada bagian kujang gunanya untuk mencabik-cabik perut musuh), Waruga (badan Kujang), Mata (lubang-lubang kecil yang terdapat pada bilahan Kujang. Mata ada yang jumlahnya 9 dan minimal 5 lubang (menggambarkan lima sila Pancasila – seperti yang digunakan pada lambang Propinsi Jawa Barat) atau tanpa lubang yang disebut “kujang buta”.
Bagian lainnya adalah Pamor, yakni garis-garis atau bintik-bintik pada badan Kujang disebut Sulangkar atau tutul konon mengandung racun dan gunanya untuk memperindah bilah Kujang, Tonggong (sisi yang tajam di bagian punggung Kujang, biasanya untuk mengerat atau mengiris), Beuteung (sisi yang tajam di bagian perut Kujang), Tadah (lengkung kecil pada bagian bawah perut Kujang), Paksi (bagian ekor Kujang yang lancip), Selut (ring pada pada ujung atas gagang Kujang), Combong (lubang pada gagang Kujang), Ganja (nama khas gagang Kujang), Kowak (nama khas sarung Kujang).
Setiap pemakai kujang ditentukan oleh status sosial masing-masing. Bentuk kujang untuk raja tidak akan sama dengan kujang balapati atau barisan pratulap, dan seterusnya. Melalui pembagian tersebut akan tergambar tahapan fungsi para pejabat yang tertera dalam struktur jabatan Pemerintahan Negara Pajajaran Tengah, seperti Raja, Lengser dan Brahmesta, Prabu Anom, Bojapati; Bopati Panangkes atau Balapati, Geurang Seurat, Bopati Pakuan diluar Pakuan; Patih termasuk Patih Tangtu dan Mantri Paseban; Lulugu; Kanduru; Sambilan; Jero termasuk Jero Tangtu; Bareusan,guru, Pangwereg dan Kokolot. Jabatan Prabu Anom sampai Berusan, Guru juga Pangwereg, tergabung didalam golongan Pangiwa dan Panengen.
Dalam pemakaian kujang, ditentukan kesejajaran tugas dan fungsinya masing-masing, misalnya Kujang Ciung Mata-9, dipakai hanya oleh raja; Kujang Ciung Mata-7, dipakai oleh mantri dangka dan Prabu Anom; Kujang Ciung Mata-5, dipakai oleh Geurang Seurat, Bopati Panangkes dan Bupati; Kujang Jago, dipakai oleh balapati, lulugu dan sambilan; Kujang Kuntul, dipakai oleh patih (patih puri, patih taman, patih tangtu, patih jaba dan patih palaju). Juga digunakan oleh mantri (mantri paseban, mantri majeuti, mantri layar, mantri karang dan mantri jero).
Kujang Bangkong, dipakai oleh guru, sekar, guru tangtu, guru alas dan guru cucuk; Kujang Naga, dipakai oleh kanduru, jaro (jaro awara, jaro tangtu, jaro gambangan); Kujang Badak, dipakai oleh pangwereg, pangwelah, bareusan, prajurit, pratulap, pangawin, sarawarsa dan kokolot. Selain diperuntukan bagi para pejabat tadi, kujang juga digunakan oleh kelompok agamawan. Namun kesemuanya hanya satu bentuk yaitu Kujang Ciung, yang perbedaan tahapnya ditentukan oleh banyaknya "mata".
Kujang Ciung bagi Bramesta (pandita agung) bermata sembilan sama dengan milik raja. Pandita, bermata tujuh. Geurang bermata tiga. Guru Tangtu Agama, bermata satu. Golongan agamawan menyimpan pula kujang pangarak yang bertangkai panjang yang dipakai pada upacara-upacara tertentu seperti Bakti Arakan, Kuwera Bakti dan sebagainya. Dalam keadaan darurat, kujang pangarak bisa saja dipakai untuk menusuk musuh dari jarak yang agak jauh. Fungsi utama kujang bagi golongan agamawan adalah sebagai pusaka pengayom kesentosaan seluruh negara.
Kelompok lain yang juga mempunyai kewenangan memakai kujang yaitu perempuan bangsawan pakuan dan golongan yang memiliki fungsi tertentu, seperti: putri raja, putri kabupatian, ambu sukla, ambu geurang, guru aes, dan sukla mayang (dayang kaputren). Kujang bagi para perempuan ini biasanya hanya terdiri dari jenis Ciung dan Kuntul karena bentuknya yang langsing. Demikian pula ukurannya biasanya setengah lebih kecil dari ukuran kujang untuk kaum laki-laki.
Untuk membedakan status pemiliknya biasanya ditentukan oleh banyaknya mata, pamor, dan bahannya. Kujang untuk putri kalangan bangsawan Pakuan biasanya bermata lima, pamor salangkar dan bahannya besi kuning pilihan. Wanita golongan lainnya menggunakan kujang bermata tiga kebawah sampai yang tidak bermata dengan pamor tutul dan bahannya dari besi pilihan.
Kaum perempuan Pajajaran itu, selain menggunakan kujang ada pula yang memakai perkakas "khas perempuan" lainnya, yaitu kudi. Alat ini kedua sisinya berbentuk sama, seperti tidak ada bagian perut dan punggung, juga kedua sisinya tajam bergerigi seperti pada kujang. Ukurannya rata-rata sama dengan kujang bikang (kujang pegangan kaum perempuan). Panjangnya kira-kira satu jengkal termasuk gagangnya. Bahannya dari besi baja, lebih halus dan tidak ada yang memakai mata. (Habis)